Antara keluarga dan karir boleh dikatakan
sama-sama penting. Tidak mungkin
keluarga dapat terpelihara, kalau tidak ada karir. Tapi tidak mungkin karir menjadi baik, kalau
keluarga tidak terpelihara. Keberhasilan
seseorang dalam karirnya tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan keluarga, dan
keberhasilan keluarga juga karena keberhasilan bidang karir.
Yang sering menjadi masalah adalah seseorang rela mengorbankan keluarga
demi karir. Kasus demikian banyak dialami oleh orang yang kurang pandai
mengemudikan kedua hal ini secara seimbang.
Memang sebagian dari antara mereka berkata, walaupun saya seorang karier
tetapi saya masih bisa membagi waktu untuk mereka,
toh "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" Tapi fakta membuktikan bahwa terlalu banyak
keluarga terlantar karena pernyataan tadi hanya untuk menghibur hati saja,
karena pada akhirnya kebanyakan orang tergoda
memilih karir ketimbang keluarga.
Berikut ini ada sebuah kisah nyata
dari seorang wanita karier yang bernama ibu Melany.
Saya seorang ibu dengan dua orang anak, mantan direktur
sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap
saya orang yang berhasil dalam karir namun, jika seandainya saya boleh memilih
maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan
menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia. Semuanya berawal ketika putri
saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis
narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini
masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan
karena memikirkan musibah ini. Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami
depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik
kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa
lagi yang bisa saya harapkan. Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang
dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian
Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak
begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti
keluarga bagi kami, dia telah ikut
bersama kami sejak 20
tahun yang lalu saat Doni masih berumur 2 tahun. Bahkan
bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ini semua
saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya
begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi
hal ini. Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname
di rumah sakit selama 3 minggu) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di
buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua
karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan suami
saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang
keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di
rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya
sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk
acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika
hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram
untuk urusan kantor. Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya
untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya
anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti
bekerja dan memilih membesarkan kami enam orang anaknya.
Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu
itu katanya sangat baik. Dan ayah pun ketika itu juga biasa-biasa saja dari
segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan
berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan
bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa
gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? Meski sebenarnya suami saya juga seorang
yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada
nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih
dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus
saya. Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka,
"kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu
menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan di luar kendali saya
dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak
yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! Ditambah
lagi, Bik Inah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah akhirnya
meninggal dunia di Rumah Sakit. Dari buku harian Maya saya juga baru tahu
kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni
pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat
setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4
kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari
sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu
kandungnya, menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan
mereka saja ke dunia. Tragis! Setelah bik Inah meningga, Maya begitu terguncang
dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di
Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat
dengan urusan kantor. Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata
tercurah, Maya menulis : "Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya,
terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang
nyambut Maya kalau pulang sekolah, siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa
yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo
nggak bisa tidur..........Ya Tuhan Maya kangen banget sama bik Inah"
bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah? Sungguh
hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak
mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar ke belakang saya rela
berkorban apa saja untuk itu.
Kesaksian ibu Melany ini
kiranya dapat membangunkan Anda yang sedang tertidur dalam karir kemudian
memperbaiki diri. Untuk apalah dunia ini
Anda genggam namun keluarga Anda hancur berkeping-keping. Jika kelurga Anda goncang saat ini karena
karir, cepatlah selamatkan keluargamu. Carilah Tuhan supaya Anda diberikan
petunjuk bagaimana menyelamatkan bahtera rumah tangga Anda. Firman Tuhan dalam Injil Matius 6:33 berkata, carilah dahulu kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Dengan petunjuk Allah, maka Anda akan
diberikan hikmat untuk mengemudikan karir dan keluarga Anda.
No comments:
Post a Comment