Seorang bayi pasti akan mengalami proses untuk menjadi dewasa, apakah itu
secara fisik, intelektual, dan juga emosi. Sayangnya, sekalipun ada orang yang mungkin secara fisik dan
intelektual dewasa, namun secara emosi dia sangat tertinggal. Ia tetap melihat
dunia seperti layaknya seorang bayi. Ia melihatnya seperti semuanya
mengelilinginya, sesuatu yang ada hanya untuk kesenangannya. Tidak pernah
benar-benar bertumbuh dari keegoisan diri kepada memperhatikan orang lain. Bagi
dirinya, apabila ada sesuatu tidak berjalan seperti keinginannya, ada reaksi
yang terjadi dalam dirinya, ia akan
bereaksi seperti anak kecil, seperti menangis misalnya, merengut,
mengasihani diri, atau mungkin ia akan marah-marah atau melempar barang
disekitarnya.
Apakah yang akan terjadi seandainya kita
menempatkan dua bayi bersama tanpa diawasi? Saya yakin, pasti mereka biasanya
langsung mendapat masalah! Demikian juga dengan seorang pria dan seorang wanita
sebagai pasangan keluarga Kristen, yang memiliki emosi belum dewasa, bersatu
dalam perkawinan. Apa yang akan terjadi? Anda tahu, pasti mereka akan
menghadapi masalah. Jika Anda telah memiliki komitment bersama untuk membentuk
sebuah keluarga, tetapi Anda masih memiliki sikap sebagaimana seorang bayi yang
memiliki emosi kurang terkontrol, maka Anda akan memiliki masalah. Emosi yang seperti bayi tidak bisa menjadi
pasangan yang baik! Salah satu kebutuhan yang begitu penting dan terbesar dalam
membangun sebuah pernikahan yang kuat dan berhasil adalah kedewasaan.
Kedewasaan biasanya tidak egois. Tentu saja, tidak
ada manusia yang sepenuhnya tidak egois; ada sedikit ketidakdewasaan dalam diri
kita. Barangkali anda pernah mendengarkan seseorang berkata “Cakarlah seorang
dewasa dan anda akan menemukan seorang anak” melaluinya.. Artinya, ketika
seseorang mendapatkan masalah ia akan bereaksi. Namun ada bedanya antara
seorang yang dewasa dan orang yang tidak dewasa. Anda akan melihat bagaimana reaksi yang
ditunjukkan ketika seseorang menghadapi masalah. Sikapnya dalam menghadapi
masalah yang ditimbulkan akan kelihatan apakah ia seorang yang memiliki
kedewasaan atau bukan. Apakah ia menyikapi dengan spontan dan kelihatan
kekanak-kanakannya? Atau mungkin dengan cara yang arif dan bijaksana dalam
meresponi masalah itu? Memang, berbicara soal kedewasaan merupakan istilah
relative. Mengapa? Karena kenyataannya bahwa, kedewasaan merupakan sebuah
proses daripada kondisi yang tetap. Menjadi seorang pribadi yang dewasa tidak
secara otomatis, tetapi ada proses yang harus dilaluinya.
Tingkatan dari kedewasaan emosi bisa saja terjadi bahkan pada orang belum
percaya, karena memang nature dosa juga memiliki kekuatan selain kelemahan.
Anda mungkin mengenal orang belum percaya, dan ia sedikit tidak egois dalam
wilayah tertentu di hidupnya, apakah itu
dengan pasangannya, anak-anak, rekan kerja, atau orang lain yang ada di
keluarganya, mertuanya misalnya. Anda melihat bahwa mereka sangat murah hati
terhadap tetangga, rekan kerja, atau orang di komunitasnya. Menunjukan belas
kasih yang besar kepada orang yang membutuhkan. Tetapi saat Anda mengenal
mereka lebih baik, maka Anda akan menemukan bahwa mereka juga ada wilayah
egoisnya.
Pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, ada
sesuatu yang berubah di dalam hidupnya.
Tuhan Yesus Kristus memberikan Roh Kudus berdiam dalam dirinya. Sifat
keseluruhan seseorang bukan lagi tergantung atas apakah dirinya atau Roh yang
memegang kendali. Karena Roh Kudus adalah satu-satunya Pribadi yang bisa
menjaga kontrol diri, maka hubungannya dengan Dia menjadi hal yang paling
penting dalam perkembangan hidupnya. Sikap pementingan diri mengalami perubahan
seiring dengan perjalanan waktu dalam
proses semakin dewasa di dalam Tuhan.
Di sini kita menyebutnya sebagai kedewasaan rohani daripada hanya
kedewasaan emosi. Keduanya memang mirip, kalau
kedewasaan emosi berhubungan erat dengan perkembangan kepribadian manusia
kita, sementara kedewasaan rohani adalah mengenali kehadiran Roh Kudus dalam
hidup dan berkaitan dengan pertumbuhan hubungan kita dengan Tuhan sebagai
Pencipta.
Seorang Kristen bisa rohani atau duniawi,
dalam tingkatan kontrol Roh Kudus atau kedagingan dalam hidupnya. Satu
hal yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah apa yang disampaikan Alkitab
dalam Surat Paulus kepada Jemaat Korintus.
I Korintus 3:1-3
3:1
Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu
seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum
dewasa dalam Kristus.
3:2 Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan
keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat
menerimanya.
3:3
Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan
perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa
kamu hidup secara manusiawi?
Paulus membandingkan kedagingan dengan bayi. Dia menulis kepada jemaat
Korintus “sebagai Kristen dunia, bahkan seperti bayi.”. Saudara, yang menjadi
alasan beberapa orang Kristen bertindak tidak dewasa adalah karena nature
daging mereka mengontrol hidup mereka. Dengan kata lain, hidup secara jasmani. Cobalah
Anda memperhatikan bagian ini, karena ada kesejajaran antara kedagingan dan
ketidakdewasaan, maka kita bisa berasumsi bahwa ada juga kesejajaran antara
rohani dan kedewasaan. Dengan demikian maka setiap orang Kristen rohani pasti
akan menunjukan tanda pertumbuhan, kedewasaan rohani.
Nah…
bagaimanakah dengan saudara?
No comments:
Post a Comment