Pendidikan terhadap anak masa kini lebih memprioritaskan kecerdasan intelektual. Dimana mana orang tua berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Fenomena ini membuat sekolah-sekolah bertumbuh dimana-mana. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan dan kerapkali menguras isi kantung orangtua. Orang tua tidak perduli itu semua yang penting anak-anaknya cerdas secara Intelektual.
Ada kasus yang pernah dimuat majalah New Yorker tahun 1930 tentang kisah seorang anak pintar yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ? James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis, si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.
Sebuah pertanyaan muncul, Mengapa William James Sidis yang cerdas secara intelektual hanya menjadi seorang pemulung mobil tua? Sangat berbeda dengan Einstein yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dijuluki sebagai anak bebal yang suka melamun. Tetapi, bagaimana masa depan Einstein? semua kita mengetahui bahwa pada akhirnya Einstein berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Ada apa dengan kedua anak ini.
Daniel Goleman dengan teori Kecerdasan Emosinya menjelaskan mengapa beberapa orang yang Intelektual-nya tinggi mengalami kegagalan, sementara banyak lainnya dengan Intelektual yang biasa saja bisa berkembang pesat. Goleman memberikan bukti, bahwa selain Intelektual, kita semua mempunyai Kecerdasan Emosi. Kecerdasan Emosi yang memungkinkan kita untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan–dorongan hati, sadar diri, bertahan, dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Goleman juga menegaskan bahwa dalam kehidupan, Kecerdasan Emosi lebih penting daripada Kecerdasan Intelektual. William James Sidis ternyata cerdas secara intelektual, tetapi tidak cerdas secara Emosi. Itulah yang membuat William James Sidis tidak sukses dalam hidupnya. Kenyataan ini memang tidak dapat disangkal. Kemampuan dan nilai akademis yang tinggi dapat membuka banyak pintu bagi kesuksesan seseorang. Akan tetapi kenyataannya, baik dalam dunia kerja, pribadi, maupun proses belajar mengajar, kecerdasan emosi sangat berperan untuk mencapai kesuksesan seseorang. Lapangan kerja yang semakin bersaing dan spesialis, membuat tidak seorang individu atau institusi manapun yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus bekerja sama dalam tim karena setiap orang dipaksa untuk bekerja sama dengan orang lain. Melihat kenyataan ini kita sebagai orang tua harus memperhatikan dan mendidik kecerdasan emosi anak-anak kita.
Sebelum kita beranjak terlalu jauh, kita perlu mengerti apa itu kecerdasan Emosi. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik. Di dalam Alkitab kita menemukan seorang ibu bernama Maria sebagai pendidik Emosi yang handal bagi Yesus. Mari kita melihat Kitab Injil Lukas 2 : 48,49 demikian firman Tuhan. “Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Pendidikan Emosi yang diberikan oleh Maria kepada Yesus adalah berupa kemampuan Maria mengelola emosinya dan mengenali emosi Yesus. Kisah ini terjadi tatkala Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Yerusalem, biasa ini dilakukan tiap tahun pada hari raya paskah. Menjelang pulang, setelah satu hari perjalanan ternyata Yesus tidak ada diantara rombongan yang bersama-sama dengan mereka. Yusuf dan Maria mengira bahwa Yesus ada diantara rombongan itu, ternyata tidak ada. Karena itu Yusuf dan Maria berusaha mencari Yesus dan kembali ke Yerusalem dan setelah 3 hari lamanya mencari Yesus kemudian mereka menemukan Yesus di Bait Allah di Yerusalem. Maria menghampiri Yesus dan bertanya "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Saya ingin anda memperhatikan ayat ini. Jika maria dan Yusuf tidak pandai mengelola emosinya dan tidak mencari tahu apa penyebabnya Yesus terpisah dari rombongan, besar kemungkinan Maria marah kepada Yesus, karena sudah lelah selama 3 hari mencari-cari. Tetapi kita lihat bagaimana Maria dengan cantik memberikan pendidikan emosi kepada Yesus, lewat pengelolaan emosinya dan mengenali emosi Yesus. Maria berusaha mengenali emosi Yesus, tatkala Yesus memberi jawab atas pertanyaan Maria dengan berkata, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Perhatikan! jawaban Yesus ini sebenarnya tidak rasional dan dapat memancing emosi. Sebab bapa dan ibuNya adalah Yusuf dan Maria, namun Yesus memberi jawab yang tidak dapat diterjemahkan oleh rasio. Walaupun demikian Maria yang cerdas emosi mampu mengenali emosi Yesus dan empati terhadap perasaan Yesus sehingga pada ayat 51 berkata; dan ibunya yaitu Maria menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Artinya Maria memahami Yesus dan karakternya sebagai manusia 100% dan sebagai Allah 100%.
Mendidik anak Cerdas Emosi tidak ada sekolah khusus secara formal, tetapi mendidik anak cerdas Emosi dapat dilakukan secara non formal, oleh orang tua, oleh guru atau oleh siapapun. Mendidik anak cerdas Emosi dapat dilakukan dengan empati terhadap perasaan anak, memberikan pujian secara tepat dan dalam waktu yang tepat serta sesuai dengan porsinya tidak melebih-lebihkan. Mendidik anak cerdas emosi dapat dilakukan lewat penamaan emosi itu. Misalnya ketika anak menangis, ketika anak marah, ketika anak tertawa, kita sebagai orang tua memberi nama dengan berkata; nak! Mengapa Kamu mengangis ,Nak! Mengapa kamu marah! Nak! Mengapa kamu tertawa. Ini disebut penamaan supaya anak mengenali emosi yang sedang terjadi padanya. Tentunya saat penamaan emosi ini harus berlangsung dengan lembut, agar pembelajaran itu merupakan simulasi alamiah yang hidup yang terekam dalam memori anak. Peringatan bagi kita orang tua yaitu jangan sekali-kali terseret kepada emosi anak. Pendidikan emosi ini harus disadari dan dikondisikan supaya kita melakukannya dalam kesabaran dan memahami emosi anak-anak kita, sebagaimana Maria sabar dan memahami emosi Yesus yang hatinya sedang berkobar-kobar berjumpa dengan BapaNya di Bait Allah.
Bila kita mendidik anak-anak kecerdasan emosi, tentu anak-anak kita akan bertumbuh dengan kepercayaan diri dan menjadi anak yang berempati kepada orang lain yang memungkinkan anak-anak kita trampil secara sosial. Maria berhasil mendidik Yesus cerdas secara emosi, buktinya ada pada Injil Lukas 2 : 52 yang berkata; “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Dalam pelayananNya, kita menyaksikan bagaimana Yesus berempati terhadap semua orang dan Yesus trampil secara sosial. Ketrampilan Yesus secara sosial membuat Dia dikasihi oleh Allah dan dikasih oleh manusia, Yesus dapat bergaul terhadap setiap orang baik dari kelas bawah kelas atas dan Ia menjadi pemimpin yang diperhitungkan oleh dunia.
Written by Pdt. Eslo Laudin Manik.
No comments:
Post a Comment